Jumat, 21 Oktober 2011

DAMPAK UJIAN NASIONAL PADA PEMBANGUNAN PENDIDIKAN NASIONAL

DAMPAK UJIAN NASIONAL PADA PEMBANGUNAN PENDIDIKAN NASIONAL
(Sebuah Tinjauan Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan)
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pembangunan pendidikan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional sebagaimana yang kita pahami bahwa pembangunan akan berjalan dengan baik dan tercapai dengan baik bila kita dapat membangun pondasi pendidikan dalam masyarakat kita.
Pembangunan pondasi pendidikan yang dimaksudkan adalah dalam rangka mencapai amanat UUD 1945 yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini bahwa salah satu tujuan bangsa kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kecerdasan yang dimaksudkan tentu bukan hanya kecerdasan intelektual, tapi juga kecerdasan lain seperti kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual disamping kecerdasan yang lainnya. Disadari oleh kita bahwa untuk mencapai tujuan tersebut bukanlah hal yang mudah dalam kondisi keterpurukan bangsa kita dewasa ini yang berusaha untuk bangkit kembali. Proses kebangkitan bangsa harus selalu menjadi semangat yang selalu terpatri dalam sanubari setiap anak negeri ini. Karena dengan semangat itu yang dipadu dengan persatuan dan kerjasama sebagaimana yang juga telah dicontohkan oleh pejuang bangsa dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, maka cita-cita bangsa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bukan merupakan hal yang mustahil untuk diraih.
Momentum kebangkitan bangsa yang kita peringati setiap tanggal 20 Mei pada tahun ini telah memasuki usia yang ke 103 dengan sebuah semangat untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera melalui perwujudan bangsa yang berkarakter, bersatu dan berdaya saing. Usia yang seharusnya telah membuat bangsa ini menjadi dewasa dan cerdas untuk menghadapi setiap perubahan yang terjadi pada perkembangan global. Tetapi yang terjadi kadang peringatan yang kita lakukan hanya sebuah kegiatan seremonial dengan sedikit makna. Kita terkadang terjebak dalam kegiatan yang hanya mempertontonkan kepada masyarakat sebuah hedonism atau gaya hidup yang begitu gemerlap tanpa makna yang berarti buat esensi dari kebangkitan itu sendiri.
Sebuah tragedy kembali dipertotonkan dalam menandai peringatan kebangkitan nasional kita di tahun ini dengan munculnya kasus korupsi dan penyuapan dan juga kisruh yang terjadi dalam lembaga olah raga yang menunjukkan jauhnya panggang dari api, atau dengan kata lain tema yang diusung seperti tergantung diatas langit yang tak mungkin untuk kita capai hanya dapat kita lihat tanpa bisa diraih. Sebuah ironi yang miris ditengah upaya dan semangat untuk mensejahterakan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sehingga tidaklah mengherankan bila bangsa ini selalu berada dalam tirani kemiskinan yang tak berujung. Bagaimana mungkin kita dapat mewujudkan harapan dan cita-cita pendiri bangsa ini jika kita tidak dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat? Seorang pakar ekonomi yang juga seorang guru besar di Harvard University peraih nobel yaitu Amartya Kumar Sen dalam bukunya yang berjudul Development as Freedom menyatakan bahwa antara pendidikan dan kemiskinan memiliki keterkaitan.[1] Pernyataan ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan di India yang menunjukkan betapa tingkat pendidikan bertalian erat dengan pengentasan kemiskinan. Dengan pendidikan maka akan meningkatkan self awareness dari masyarakat agar dapat menyadari akan potensi yang dimilikinya dalam upaya menuju kemandirian baik mandiri sebagai individu maupun sebagai komunitas atau masyarakat.
Pentingnya pendidikan telah menjadi gerakan yang digalakkan oleh pemerintah saat ini dengan dikeluarkannya kebijakan pengganggaran pendidikan sebesar 20% baik dari APBN maupun dari APBD sebagaimana yang dituangkan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Kemudian hal ini diperkuat dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 ayat 1 bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sector pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kebijakan pemerintah ini merupakan upaya positif untuk mejadikan pendidikan sebagai salah satu sector yang penting dalam upaya mengembangkan sumber daya manusia Indonesia untuk mencapai insane Indonesia yang konpetitif dengan kecerdasan komprehensif baik kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan social, kecerdasan intelektual dan kecerdasan kinestetik sebagaimana yang diamanatkan dalam rencana strategis (Renstra) kementrian pendidikan nasional 2010-2014 sebagai bagian integral dari renstra pendidikan dalam jangka panjang 2010-2025.
Dalam implementasinya penganggaran pendidikan belum dilaksanakan secara optimal hal itu terbukti dengan anggaran pendidikan tahun 2010 sebesar Rp. 225 triliun dan tahun 2011 sebesar Rp. 249 triliun, namun anggaran tersebut disedot sebesar 80% untuk gaji guru. Secara total, gaji guru memakan 80% dari total anggaran pendidikan. Dan alokasi seperti ini, kata salah seorang arsitek amandemen UUD 1945 tentang pendidikan, Profesor Soedijarto, menyimpang dari UUD karena gaji guru seharusnya tidak masuk anggaran pendidikan.[2] Sebagai pembanding dapat kita lihat di Malaysia jumlah anggaran pendidikan tahun 2010 mencapai 25,52 miliar ringgit atau sekitar Rp75 triliun. Ini tidak termasuk gaji guru di negara dengan penduduk delapan kali lebih kecil dibanding penduduk Indonesia.[3]
Terlepas dari persoalan anggaran tersebut, kita harus mengapresiasi upaya pemerintah tersebut karena bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya maka saat ini kita telah mengalami beberapa perkembangan walau hal itu dirasakan belum maksimal. Secara umum penganggaran pendidikan ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita agar dapat sejajar dengan Negara-negara lain sehingga sumber daya manusia yang terbangun dapat “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” dengan kumunitas dunia dalam kehidupan global.
Disadari saat ini kualitas pendidikan kita masih jauh berada di bawah Negara-negara asean dan dunia, walaupun secara peringkat kita mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan dari Laporan The Global Competitiveness Report 2010-2011 yang diluncurkan Forum Ekonomi Dunia. Disebutkan, indeks daya saing global atau Global Competitiveness Index (GCI) Indonesia meningkat. Untuk tahun 2010, GCI Indonesia berada di posisi ke-44 dari 139 negara, sedangkan tahun lalu di peringkat ke-54 dari 133 negara.
Adapun sejumlah negara tetangga berada pada peringkat yang lebih baik adalah Singapura di posisi ke-3, Malaysia di posisi ke-26, Brunei Darussalam di peringkat ke-28, dan Thailand di posisi ke-38.[4]
Hal tersebut merupakan sebuah indicator bahwa kita masih harus bekerja lebih keras untuk meningkatkan pendidikan. Upaya ini merupakan upaya yang harus dilakukan secara integral, komprehensif dan akomodatif dengan memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki. Kita sama mahfum bahwa Negara kita merupakan jamrud katulistiwa yang memiliki tanah yang subur dan kandungan kekayaan yang tak ternilai. Tapi apalah arti semua itu jika kita tidak memiliki sumber daya manusia yang handal untuk mengelola semua kekayaan bangsa tersebut.
Malaysia dan Singapura adalah tetangga kita yang bila dilihat hanyalah sebuah titik dari luasnya wilayah kita, tapi apa yang terjadi saat ini? Jika 20 tahun yang lalu kedua Negara tersebut menjadikan Indonesia sebagai mentor tapi saat ini telah tumbuh menjadi Negara yang kaya. Malaysia dan Singapura telah tumbuh menjadi Negara miskin yang kaya “the poor rich country” artinya mereka miskin secara sumber daya alam tapi mereka kaya akan gagasan dan inovasi sementara Indonesia menjadi Negara kaya yang miskin “the rich poor country” artinya kita memiliki sumber daya alam yang kaya, namun karena kita miskin akan kualitas sumber daya manusia maka kita tidak dapat mengelola secara mandiri kekayaan kita sehingga mengakibatkan kita menjadi miskin.[5]
Sekali lagi kita melihat betapa pentingnya peranan sumber daya manusia yang kompeten untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa. Bicara tentang kualitas sumber daya manusia tidak bisa kita lepaskan dari peran pendidikan. Pendidikan merupakan upaya untuk memanusiakan manusia agar sadar dan mampu mengembangkan potensinya baik sikap, keterampilan maupun pengetahuan sehingga dapat menjalankan fungsinya baik sebagai individu, masyarakat maupun makhluk Tuhan.
Meningkatkan mutu sumber daya manusia melalui pendidikan bukanlah merupakan proses instant tapi merupakan proses yang harus direncanakan secara baik sejak pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi. Pendidikan juga harus diupayakan secara terintegrasi baik pendidikan formal di sekolah, pendidikan non formal di masyarakat serta pendidian informal dalam keluarga.
Berbicara mengenai tanggungjawab Negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, maka peran pendidikan formal di sekolah-sekolah harus menjadi prioritas. Untuk menjaga agar upaya peningkatan mutu pendidikan secara terencana, terarah dan berkelanjutan, maka pemerintah melakukan evaluasi terhadap pencapaian yang dilakukan secara nasional yang kita kenal saat ini dengan Ujian Nasional.
Pada medio 2008 sampai dengan saat ini, pelaksanaan Ujian Nasional (UN) telah menjadi pembicaraan hangat di kalangan praktisi pendidikkan tentang kaitan UN terhadap kualitas pembelajaran. Hal tersebut didasarkan pada fakta lapangan tentang berbagai peristiwa yang terkadang irasional yang disebabkan oleh kekhawatiran yang berlebihan akan UN yang akan dijalani. Seakan-akan UN merupakan penentu “hidup dan matinya” siswa, dalam arti siswa tidak akan bisa menjalani hidupnya bila tidak lulus dalam UN. Hal ini merupakan bahan evaluasi untuk kita semua karena pendidikan bukanlah tanggung jawab pemerintah semata tapi merupakan tanggung jawab semua elemen bangsa.
Selain fenomena yang terjadi pada siswa juga stigma yang berkembang di kalangan pemerintah yang terkesan bahwa keberhasilan UN merupakan sebuah kebanggaan, namun jika gagal terkesan menjadi sebuah tamparan yang memalukan apalagi pada daerah-daerah yang terkenal sebagai daerah yang menjadi contoh dalam kegiatan pembangunan. Seperti yang terjadi pada daerah Jakarta dan Yogyakarta.
Sehingga dapat dikatakan bahwa UN merupakan ajang prestise bagi daerah dan sekolah sebagai bentuk akuntabilitas terhadap proses pembelajaran yang dilakukan. Apakah ini yang menjadi tujuan UN? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka menjadi hal yang menarik bagi kelompok untuk melihat lebih jauh tentang pelaksanaan UN dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas pendidikan.

B.     PEMBATASAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut, maka kami ingin membatasi pembahasan dalam makalah ini pada:
1.      Apa dan Bagaimana UN
2.      Konsep mutu pendidikan
3.      Dampak UN terhadap peningkatan kualitas atau mutu pendidikan
4.      Implikasi Pelaksanaan UN dalam peningkatan mutu pendidikan
5.      Solusi pragmatis peningkatan mutu pendidikan melalui UN


BAB II
PEMBAHASAN
A.    APA DAN BAGAIMANA UN
Untuk dapat melihat dengen lebih jernih proses pelaksanaan UN, maka untuk membuka pembahasan kita alangkah bailnya bila kita memulai dengan sejarah pelaksanaan Ujian Nasional (UN) itu sendiri serta kontroversi yang berkembang saat ini
1.      Sejarah Pelaksanaan UN
Perjalanan ujian yang bertujuan untuk melihat tingkat penyerapan pembelajaran yang telah diterima oleh siswa sampai dengan munculnya model pelaksanaan Ujian Nasional, ternyata telah mengalami beberapa kali perubahan sejak 1950 sampai dengan saat ini yang kecendrungannya setiap berganti pejabat maka berganti pula pola kebijakan pelaksanaan UN.
Adapun sejarah pelaksanaan UN sebagai berikut:[6]
Ø  Periode 1950-1960-an
Pada periode ini ujian kelulusan disebut dengan ujian penghabisan dan diadakan secara nasional serta soal-soal dibuat oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Soal-soal yang diujikan berbentuk essai dan hasil ujian diperiksa di pusat rayon.

Ø  Periode 1965-1971
Pada periode ini semua mata pelajaran diujikan dalam hajat yang disebut ujian negara. Bahan ujian dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Waktu ujian juga ditentukan oleh pemerintah pusat.


Ø  Periode 1972-1979
Pada periode ini pemerintah memberi kebebasan untuk setiap sekolah atau kelompok sekolah menyelenggarakan ujian sendiri. Pembuatan soal dan penilaian dilakukan masing-masing sekolah atau kelompok sekolah. Pemerintah hanya menyusun pedoman dan panduan yang bersifat umum.

Ø  Periode 1980-2001
Pada Periode ini mulai diselenggarakan ujian akhir nasional yang disebut Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Model ujian akhir ini menggunakan dua bentuk yaitu Ebtanas untuk mata pelajaran umum dan Ebta untuk mata pelajaran non-ebtanas. Ebtanas dikoordinasim oleh pemerintah pusat dan Ebta dikoordinasi oleh pemerintah provinsi. Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua evaluasi tadi ditambah nilai ujian harian yang tertera di buku rapor. Dalam Ebtanas siswa dinyatakan lulus jika nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang diujikan adalah enam. Meskipun terdapat nilai di bawah tiga.

Ø  Periode 2002-2004
Pada periode ini Ebtanas diganti dengan nama Ujian Akhir Nasional (UAN) dan standar kelulusan tiap tahun berbeda-beda. Pada UAN 2002 kelulusan ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual. Pada UAN 2003 standar kelulusan adalah 3.01 pada setiap mata pelajaran dan nilai rata-rata minimal 6.00. Soal ujian dibuat oleh Depdiknas dan pihak sekolah tidak dapat mengatrol nilai UAN. Para siswa yang tidak/belum lulus masih diberi kesempatan mengulang selang satu minggu sesudahnya. Pada UAN 2004, kelulusan siswa didapat berdasarkan nilai minimal pada setiap mata pelajaran 4.01 dan tidak ada nilai rata-rata minimal. Pada mulanya UAN 2004 ini tidak ada ujian ulang bagi yang tidak/belum lulus. Namun setelah mendapat masukan dari berbagai lapisan masayarakat, akhirnya diadakan ujian ulang.


Ø  Periode 2005-sekarang (2010)
Pada periode ini UAN diganti namanya menjadi Ujian Nasional (UN) dan standar kelulusan setiap tahun pun juga berbeda-beda. Pada UN 2005 minimal nilai untuk setiap mata pelajaran adalah 4.25. Pada UN 2005 ini para siswa yang belum lulus pada tahap I boleh mengikuti UN tahap II hanya untuk mata pelajaran yang belum lulus. Pada UN 2006 standar kelulusan minimal adalah 4.25 untuk tiap mata pelajaran yang diujikan dan rata-rata nilai harus lebih dari 4.50 dan tidak ada ujian ulang. Pada UN 2007 terdapat dua kriteria kelulusan yaitu;
a)      Nilai rata-rata minimal 5.00 untuk seluruh mata pelajaran dengan tidak ada nilai di bawah 4.25.
b)      Jika nilai minimal 4.00 pada salah satu mata pelajaran yang diujikan maka nilai pada dua mata pelajaran linnya adalah 6.00.
Pada UN 2007 ini tidak ada ujian ulang. Dan bagi yang tidak lulus disarankan untuk mengambil paket c untuk meneruskan pendidikan atau mengulang UN tahun depan. Pada UN 2008 mata pelajaran yang diujikan lebih banyak dari yang semula tiga, pada tahun ini menjadi enam. Standar kelulusan pada tahun ini terdapat dua kriteria yang hampir sama dengan tahun 2007 hanya saja terdapat penambahan nilai rata-rata minimal menjadi 5.25. Penambahan mata pelajaran pada UN 2008 ini karena BSNP mendapat masukan, bahwa ada ketidakseimbangan tingkat keseriusan antara mata pelajaran yang di-UN-kan dan yang tidak. Pada UN 2009 standar untuk mencapai kelulusan, nilai rata-rata minimal 5.50 untuk seluruh mata pelajaran yang di-UN-kan, dengan nilai minimal 4.00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4.25 untuk mata pelajaran lainnya. Pada UN 2010 tahun ini, standar kelulusannya adalah;
a)      Memiliki nilai rata-rata minimal 5.50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4.0 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4.25 untuk mata pelajaran lainnya.
b)      Khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran praktek kejuruan minimal 7.00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN.

2.      Polemik Pelaksanaan UN
UN adalah merupakan momok yang menakutkan baik bagi siswa maupun bagi sekolah dan pemerintah khususnya pemerintah daerah sebagai ajang prestise terhadap kualitas pendidikan yang ada di daerahnya. Disadari atau tidak UN telah menjadi komoditas politik yang selalu menjadi isu hangat yang di bawa oleh para politikus untuk mempengaruhi pilihan masyarakat dalam memperoleh kedudukan dalam lingkar kekuasaan.
Mengapa UN dikatakan sebagai momok yang menakutkan? Dalam berita yang kita baca dan lihat serta dengarkan baik di media cetak maupun elektronik, sebelum pelaksanaan UN telah memunculkan sikap atau perilaku yang kurang rasional seperti melakukan ziarah ke makam-makam yang dianggap “keramat” bahkan ada yang datang ke pesantren untuk membawa pensil ujian siswa agar di beri “doa-doa” sehingga mereka dapat menjawab soal UN dengan baik. Pada saat pelaksanaan UN siswa mendapat bantuan dari pihak guru yang memberikan bocoran jawaban dengan melakukan kerjasama dengan pengawas. Dan masih banyak lagi fenomena yang tidak mungkin kami angkat satu persatu. Namun satu hal yang pasti dengan pelaksanaan UN telah memunculkan sikap irasional dalam menghadapinya.
Dalam perkembangannya UN juga telah membawa pengaruh terhadap kesadaran masyarakat dan praktisi pendidikan tentang bentuk UN yang ideal untuk mengukur kemampuan atau kompetensi siswa walau hal ini memang sampai dengan saat ini belum ada satu model ideal dalam pelaksanaan UN. Secara positif UN telah membawa pengaruh pada sekolah untuk selalu mancari cara agar siswa yang ada di sekolahnya lulus 100% dalam setiap pelaksanaan UN, baik melalui pengayaan diluar jam belajar maupun bekerja sama dengan bimbingan belajar untuk mengasah kemampuan siswanya dalam ranah kognitif agar mampu menjawab soal-soal dalam UN.
Ujian Nasional merupakan salah satu jenis penilaian yang diselenggarakan pemerintah guna mengukur keberhasilan belajar siswa. Dalam beberapa tahun ini, kehadirannya menjadi perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Di satu pihak ada yang setuju, karena dianggap dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dengan adanya ujian nasional, sekolah dan guru akan dipacu untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar para siswa dapat mengikuti ujian dan memperoleh hasil ujian yang sebaik-baiknya. Demikian juga siswa didorong untuk belajar secara sungguh-sungguh agar dia bisa lulus dengan hasil yang sebaik-baiknya.Sementara, di pihak lain juga tidak sedikit yang merasa tidak setuju karena menganggap bahwa Ujian Nasional sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif.
Pendapat yang berkembang dalam masyarakat kita menurut Agus Suwignyo dapat dipetakan dalam tiga kategori yaitu:[7]
a.       UN dianggap mengabaikan prinsip keadilan. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa kondisi geografis, karakter cultural dan kebutuhan social ekonomi daerah-daerah di Indonesia berbeda-beda sehingga membawa dampak terhadap proses dan hasil pendidikan yang diharapkan pun berbeda-beda. Misalnya menukil pendapat Begawan pendidikan kita Prof. Winarno Surakhmad dalam suatu wawancara radio menguraikan bahwa kompetensi siswa dalam hal penguasaan bahasa inggris antara wilayah Jakarta dengan Pulau Natuna tentu berbeda yang disebabkan oleh kebutuhan yang berbeda.
Prinsip keadilan dalam UN juga menyangkut aspek social-ekonomi yang berdampak pada kemampuan sekolah dan orang tua dalam melakukan akses terhadap informasi dan ketersediaan berbagai fasilitas belajar. Berdasarkan keragaman kondisi tersebut maka dianggap tidaklah memungkinkan untuk melakukan pengukuran dengan standar yang sama terhadap keberagaman yang ada.
b.      UN mengabaikan integralitas bidang-bidang potensi perkembangan murid. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa perkembangan potensi siswa terjadi pada aspek cipta, rasa dan karsa. UN dikhawatirkan mereduksi tujuan pendidikan sejati dari membangun manusia yang utuh dan cerdas menjadi sekedar lulus ujian (Kompas,3/4/2008). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menganggap dengan memberlakukan UN, pemerintah mengekploitasi anak-anak demi gengsi-gengsi politik (Kompas, 27/5/2008)
c.       Persentase komponen-komponen kelulusan murid tidak pernah transparan. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa selama ini pemerintah tidak transparan dalam penentuan kelulusan siswa antara berapa persen nilai rapor, ujian sekolah dan UN memberikan kontribusi dalam penilaian bahwa layak dan tidaknya siswa dikategorikan “lulus” dari jenjang pendidikan tersebut. UN dinilai oleh sejumlah pengamat sebagai “tumpang tindih antara tujuan pemetaan pendidikan dan tujuan ujian” (Kompas, 22/11/2007)
d.      Publik mempertanyakan mengapa Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tidak pernah mengumumkan hasil uji reliabilitas dan validitas soal-soal UN yang pernah diujikan. Seorang pakar psikometri menilai, secara metodologis “UN berkualitas rendah dan kurang mengikuti kaidah pengelolaan system ujian yang baik. Sebagai contoh, skor hasil ujian tidak menggunakan skala yang benar dan tanpa jaminan komparabilitas secara ilmiah” (Kompas, 4/12/2007). Absennya evaluasi atas alat evaluasi UN menjadi salah satu butir kritik atas penyelenggaraan UN.
Melihat polemik masalah pelaksanaan UN, maka proses demokrrasi sedang terjadi dalam dunia pendidikan kita khususnya dalam pelaksnaan UN. Namun yang menjadi pertanyaan penting adalah apakah kontroversi ini harus terus berlanjut dan tidak ada titik temu?. Kita menyadari bahwa pendidikan adalah merupakan domain public sekaligus juga menjadi tanggung jawab pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU No.20 Tahun 2003, sehingga diperlukan untuk kompromi antara pihak pro dan kontra pelaksanaan UN.
Kompromi ini dimaksudkan agar terjadi titik temu yang integral, komprehensif dan akomodatif dengan mengedepankan tujuan suci dari pendidikan nasional kita. kita harus akui bahwa pelaksanaan UN masih memerlukan pengkajian yang lebih dalam tentang aspek pengukuran yang tidak mereduksi dari menciptakan pendidikan yang melahirkan insane yang memilki olah cipta, olah rasa, olah karsa yang sesuai dengan perkembangan zaman yang ada saat ini. Sehingga hasil UN merupakan sebuah gambaran tentang kualitas pendidikan yang telah ditempuh pada tahun tersebut sehingga apapun hasilnya maka harus dilihat sebagai sebuah system yang saling mendukung antara semua komponen standar pendidikan nasional sebagaimana yang tertuang dalam PP No. 19 Tahun 2005 tenatng standar pendidikan nasional.
Sehingga untuk membuat polemic ini menjadi masukan yang positif bagi peningkatan kualitas pendidikan kita, maka menurut penulis perlu kiranya kita melihat landasan yuridis yang mengayomi pelaksanaan UN sehingga friksi yang muncul dapat difokuskan pada pencapaian kualitas pendidikan yang sesuai dengan arah kebijakan yang telah dituangkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 dan diturunkan atau dijabarkan secara terinci dalam PP No. 19 Tahun 2005.

3.      Kebijakan Pelaksanaan UN
a.      UUD 1945
Secara yuridis pelaksanaan UN merupakan implementasi dari salah satu tujuan bangsa ini yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang dilingkupi oleh Pancasila.
Dalam UUD 1945 diatur tentang pendidikan yang merupakan hak warga Negara seperti yang tertuang dalam pasal 28 C ayat (1) “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitashidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”., pasal 28 E ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali” dan pasal 31 ayat (1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan juga mengatur tentang kewajiban warga Negara dan pemerintah sebagaiman tertuang dalam pasal 31 ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.


b.      UU No. 20 Tahun 2003
Undang-undang ini lahir sebagai upaya penyempurnaan dari UU No. 2 Tahun 1989 tentang system pendidikan nasional agar sesuai dengan amanat perubahan UUD 1945.
Sesuai dengan amanat UUD 1945 khususnya yang berkaitan dengan persoalan pendidikan yang tertuang dalam Pasal 28 C ayat 1, pasal 28 E ayat (1) dan pasal 31.
UU ini terdiri dari XXII Bab dan 77 pasal yang membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan dan khusus tentang standar nasional pendidikan termuat pada pasal 35, pasal 36, pasal 37, pasal 42, pasal 43, pasal 57, pasal 58, pasal 59 dan pasal 60.
Dari beberapa pasal tersebut, penulis ingin menuliskan dengan lengkap beberapa pasal sebagai bahan perenungan yang berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi dan tentunya juga berkaitan dengan pelaksanaan UN, khususnya pada pasal 57 ayat (1) “Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan”.
Kemudian pasal 58 ayat (1) “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan” dan ayat (2) “Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan”.
Kemudian pasal 59 ayat (1) “Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan”. Dan ayat (2) “Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58”.
Berdasarkan pada 3 pasal tersebut, maka penulis melihat ada beberapa poin penting yang dapat dijadikan catatan yaitu:
1)      Evaluasi dilakukan untuk mengendalikan mutu dalam rangka akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.
2)      Pemerintah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan
3)      Khusus untuk hasil belajar evaluasi dilakukan oleh guru satuan pendidikan.
4)      Evaluasi dilakukan oleh lembaga mandiri yang dapat dibentuk oleh masyarakat.

c.       PP No. 19 Tahun 2005
PP ini merupakan penjabaran secara rinci dari sistem pendidikan nasional yang termuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang standar nasional pendidikan yang merupakan kriteria minimal tentang system pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Repoblik Indonesia.
Kriteria minimal yaitu:
1)      Standar isi
Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi yang memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan
2)      Standar proses
Standar proses terdiri dari proses perencanaan pembelajaran, proses pelaksanaan pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran.
Proses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi dan memberi ruang yang cukup munculnya prakarsa, kreativitas, kemandirian yang sesuai dengan minat, bakat dan perkembangan fisik maupun psikologis peserta didik.
3)      Standar kompetensi lulusan
Satandar kompetensi lulusan merupakan pedoman penialaian yang mencakup aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan dan penentuan kelulusan peserta didik  pada semua mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran dari satuan pendidikan.
Tujuan dari standan kompetensi lulusan adalah untuk meletakkan dan meningkatkan keserdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
4)      Standar pendidik dan tenaga kependidikan
Selain memiliki standar pendidikan antara D-IV atau S1, kompetensi lain yang harus dimiliki oleh pendidik:
a)      Kompetensi pedagogic
b)      Kompetensi kepribadian
c)      Kompetensi professional, dan
d)     Kompetensi social
Untuk tenaga kependidikan yang dimaksudkan minimal terdiri dari:
a)      Kepala sekolah
b)      Tenaga administrasi
c)      Tenaga perpustakaan
d)     Tenaga laboratorium, dan
e)      Tenaga kebersihan
5)      Standar sarana dan prasarana
Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Prasarana yang wajib dimiliki oleh satuan pendidikan meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tepat bermain, tempat berekreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan

6)      Standar pengelolaan
Standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, propinsi atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pendidikan
7)      Standar pembiayaan
Komponen yang mengatur besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku sela satu tahun.
8)      Standar penilaian pendidikan
Standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur dan instrument penilaian hasil belajar peserta didik.
Khusus pelaksanaan UN dijelaskan bahwa merupakan penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh pemerintah secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.

d.      Permendiknas No. 22 Tahun 2006
Permendiknas ini merupakan penjabaran dari PP 19 Tahun 2005 khususnya pada pasal 8, pasal 10, pasal 11, pasal 12 dan pasal 18.
Secara khusus permendiknas ini mengatur tentang standar isi satuan pendidikan dasar dan menengah.
Sebagaimana yang dijelaskan tentang kelompok mata pelajaran yang masuk UN dalam permendiknas ini dijelaskan cakupan dari kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi dan mengapresiasi, memperoleh kompetensi dasar dan lanjutan serta membudayakan perilaku dan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri.

e.       Permendiknas No. 23 Tahun 2006
Permendiknas ini mengatur tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah secara terperinci dengan indicator yang yang harus ditunjukkan di masing-masing jenjang baik pendidikan dasar (SD dan SMP) maupun pada pendidikan menengah (SMA atau SMK) pada  5 (lima) kelompok mata pelajaran; 1) Agama dan akhlak mulia; 2) Kewarganegaraan dan kepribadian; 3) Ilmu pengetahuan dan teknologi; 4) Estetika; 5) Jasmani, Olah raga dan kesehatan.

f.       Permendiknas No. 19 Tahun 2007
Dalam permendiknas ini poin penting tentang penilaian hasil belajar siswa dinyatakan bahwa sekolah menyusun penilaian hasil belajar yang berkeadilan, bertanggungjawab dan berkesinambungan yang dipantau dan didokumentasikan secara sistematis serta menjadi bahan masukan bagi siswa dalam rangka perbaikan secara berkala.

g.      Permendiknas No.20 Tahun 2007
Permendiknas ini mengatur tentang Standar Penilaian Pendidikan. Bahwa penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengelolaan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.
Dalam permendiknasi diatur secara runut dan terinci tentang prinsip, teknik dan instrument serta mekanisme dan prosedur penilaian.
Penilaian dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan dan pemerintah. Untuk pelaksanaan UN, kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditentukan dengan rapat dewan pendidik sesuai dengan criteria:
1)      Menyelesaikan seluruh program pembelajaran
2)      Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran estetika; dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan.
3)      Lulus ujian sekolah/madrasah
4)      Lulus UN
Pemerintah melakukan penilaian dalam bentuk UN selain untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, juga digunakan untuk memetakan mutu program dan/atau satuan pendidikan sebagai salah satu pertimbangan dalam pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Selain itu hasil UN dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan kelulusan peserta didik pada seleksi masuk jenjang pendidikan lanjutan

h.      Permendiknas No. 45 Tahun 2010
Perendiknas ini mengatur tentang criteria kelulusan peserta didik dalam UN. Keluusan UN ditentukan berdasarkan Nilai Akhir (NA) yang diperoleh dari penggabungan nilai S/M dari mata pelajaran yang di UN kan dan nilai UN, dengan pembobotan 40% untuk nilai S/M dan 60% untuk nilai UN.
Peserta didik dinyatakan lulus UN apabila nilai rata-rata NA mencapai paling rendah 5,5 dan setiap mata pelajaran paling rendah 4,0.

i.        Permendiknas No. 46 Tahun 2010
Permendiknas ini mengatur tentang teknis pelaksanaan dan pengelolaan UN di tingkat sekolah dasar dan menengah.
Berkaitan dengan tugas kementrian pendidikan nasional dinyatakan di pasal 23 bahwa Kementrian Pendidikan Nasional memetakan hasil UN pada tingkat sekolah/madrasah kabupaten/kota, propinsi dan nasional.
Berdasarkan uraian-uraian tentang kebijakan yuridis dalam pelaksanaan UN maka dapatlah kiranya kita mengkonstruksikan bahwa pemerintah telah melakukan proses pembuatan kebijakan pendidikan yang bermuara pada peningkatan mutu pendidikan, proses peningkatan mutu pendidikan merupakan proses yang berlangsung terus menerus melalui evaluasi yang dilakukan baik oleh pendidik, satuan pendidikan dan pemerintah terhadap ketercapaian rencana pembangunan pendidikan sebagaimana yang tertuang dalam sumber hukum tertinggi yaitu UUD 1945. Untuk memudahkan kita dalam memahami pemikiran penulis maka dibuatlah bagan seperti yang tergambar pada bagan berikut:

UUD 1945
UU No.20/2003
PP No.19/2005
Permendiknas No.22/2006
Permendiknas No.23/2006
Permendiknas No.20/2007
Permendiknas No.19/2007
Permendiknas No.45/2010
Permendiknas No.46/2010
Meningkatnya Mutu Pendidikan Indonesia dengan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

 




















Apa bukti bahwa pembangunan pendidikan merupakan proses yang terus menerus? Hal tersebut dapat kita lihat salah satunya dalam penyelenggaran Ujian Nasional kita yang pada awal-awalnya merupakan penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan namun sejak tiga tahun terakhir tidak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan tapi menjadi salah satu penentu kelulusan sehingga diharapkan UN tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan walau hal ini rasanya belum dapat menjawab kegundahan atau kegelisahan masyarakat tentang pelaksanaan UN, namun minimal menjadi sebuah jalan baik untuk perbaikan yang lebih baik.
B.     KONSEP MUTU PENDIDIKAN
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali memperbincangkan masalah mutu. Kita tidak menyadari bahwa belum terdapat kesepakatan dikalangan para pakar mengenai mutu. Mutu merupakan suatu konsep yang didasarkan pada ilusi dan bermakna individual. Oleh karena itu, mutu memiliki makna yang sangat beragam dan berlainan bagi setiap orang dan kriterianya pun berubah secara terus menerus tergantung pada konteksnya. Mutu suatu terminologi yang subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara di mana setiap definisi dapat didukung oleh argumentasi yang sama baiknya.
Sebagai langkah awal dalam mengetengahkan tentang rumusan atau konsep mutu pendidikan bahwa konsep mutu pendidikan masih bersifat parsial dan individual. Mutu pendidikan adalah berkembangnya potensi anak didik. Pendidikan dikatakan bermutu apabila anak didik dapat mengembagkan potensi dirinya. Sedangkan menurut Suryadi,  mutu pendidkan adalah kemampuan lembaga-lembaga pendidikan dan satuan pendidikan dalam mengelola dan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan untuk meningkatkan kemampuan belajar. Lembaga-lembaga pendidikan dalam hal ini adalah lembaga formal dan non-formal, lebih lanjut suryadi[8] mengungkapkan bahwa pendidikan yang bermutu adalah dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dasar untuk belajar sehingga dapat mengikuti bahkan menjadi pelopor dalam pembaruan dan perubahan.
Memperhatikan dua pendapat di atas, nampak yang satu menekankan kepada berkembangnya potensi peserta didik, dan yang satu lainnya lebih menekankan kepada kemampuan lembaga-lembaga pendidikan dan satuan pendidikan, pendapat yang lebih lengkap diungkapan oleh soedijarto[9] bahwa pendidikan yang bermutu yaitu suatu sistem pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan pada berbagai jenjang dan jenis yang memiliki kemampuan, nilai dan sikap, baik kemampuan intelektual, Profesional dan emosional dan memiliki sikap jujur, berdisiplin, dan beretos kerja yang tinggi, rasional, kreatif, memiliki rasa tanggung jawab kemanusiaan, kemasyarakatn dan kebangsaan serta berakhlak mulia, beriman dan bertaqwa. Namun demikian, menurut Tilaar bahwa pendidikan yang berkualitas bukan hanya pendidikan yang mengembangkan intelegensi akademik, tetapi perlu mengembangkan seluruh spektrum intelegensi manusia meliputi berbagai aspek kebudayaan[10].     
Kemudian menurut Slamet[11], untuk bis amenghasilkan mutu, terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam lembaga pendidikan, yaitu: (1) menciptakan situasi “menang-menang” (win-win solution) dan bukan situasi “kalah-menang” di antara pihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholder); (2) perlunya ditumbuhkembangkan motivasi intrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu; (3) setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang, sehingga penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan janka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus menerus ; (4) dalam menggerakan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, harus dikembankan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil mutu.     
Dengan demikian, untuk menghasilkan mutu sesuai harapan, komunikasi yang dibangun terutama antara pimpinan dengan bawahanya harus saling menguntungkan satu sama lain dlam meraih mutu yang dicita-citakan oleh suatu lembaga pendidikan. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi,bahwa hasil kegiatannya akan mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan. Mengacu kepada beberapa pendapat, tidak terdapat definisi tentang mutu pendidikan yang dijelaskan secara rinci. Hal yang sama juga dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, beberapa kali dicantumkan kata mutu, diantaranya :
1)      BAB III Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan pasal 4 ayat (6) pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaran dan pengendalian mutu layanan pendidikan;
2)      BAB IV Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat dan Pemerintah, bagian kesatu pasal 5 ayat (1) setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Bagian ketiga pasal 11 ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi; (3) BAB IX Pendidikan dan Tenaga Kependidikan pasal 41 ayat (3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu ; 4) BAB XVI Evaluasi, Akreditasi, dan Sertifikasi. Pada Bagian Kesatu pasal 57 ayat (1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan pada pihak-pihak yang berkepentingan.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, walaupun enam kali disebut kata mutu, tidak ditemukan satupun definisi yang menjelaskan tentang mutu pendidikan. Selain kata mutu, terdapat beberapa kata kualitas , yang menampakkan bahwa seperti bagian dari kualitas. Seperti tercantum dalam GBHN “Perwujudan sistem pendidikan nasional yang demokrasi dan bermutu” dalam rangka mengembangkan kualitas manusia indonesia”. Frase perwujudan sitem pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu....” dan frase” ....dalam rangka mengembangkan kualitas manusia indonesia akan berkembang apabila pendidikan nasional indonesia bermutu.
Selanjutnya untuk mencapai standar mutu menurut PP No.19 Tahun 2005 dan merupakan penjabaran dari UU No.20 Tahun 2003 sebagaimana dikutip oleh Tilaar[12] bahwa terdapat deapan standar pendidikan nasional, antara lain : 1) standar isi, 2) standar proses, 3) Standar kompetensi lulusan, 4) Standar pendidik dan tenaga kependidikan, 5) standar sarana dan prasarana, 6) standar pengelolaan, 7) standar pembiayaan, 8) standar penilaian pendidikan.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk merumuskan definisi mutu pendidikan tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan selain pendidikan merupakan suatu sistem dan pendidikan mencakup banyak aspek yang saling berkaitan. Selanjutnya, rumusan mutu yang akan digunakan dalam tulisan ini didasarkan kepada tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan. Sebagimana tercantum dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 2, bahwa tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Atas dasar tujuan pendidkan tersebut di atas, maka rumusan definisi mutu pendidikan adalah kesesuaian antara tujuan pendidikan dengan hasil pendidikan yang di capai. Indikator keberhasilannya adalaha berkembangnya potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Adapun indikator tersebut, secara konseptual dirumuskan dalam GBHN menjadi 4 (empat) aspek penting yakni: aspek agama yang meliputi keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; 2 aspek intelektual, meliputi ilmu pengetahuan dan tekhnologi; 3) aspek politik, yaitu menjadi warga negara yang cinta tanah air, berkesadaran hukum, dan berkesadaran lingkungan dan 4) aspek individual terdiri dari fisik dan mental. Aspek fisik yaitu sehat dan etos kerja yang tinggi, sedangkan mental meliputi mandiri dan berdisiplin.
Dengan demikian, pendidikan dikatakan bermutu apabila peserta didik memenuhi standar kriteria yang telah diuraikan di atas. Untuk memenuhi kriteria di atas, maka diperlukan berbagai upaya untuk megukur agar tujuan pendidikan dapat terjamin ketercapaiannya.
Untuk mengukur hal-hal yang telah dirumuskan di atas, maka dari berbagai pendapat ahli yang telah merumuskan konsep mutu,  pendapat Juran lebih mendekati untuk memenuhi kriteria pengukuran. Menurut Juran, bahwa dalam upaya peningkatan mutu diperlukan tiga elemen, yaitu 1) quality planning; 2) quality control; 3) quality improvment. Dalam tulisan ini, pendapat juran diadopsi dengan penambahan satu elem yaitu : quality implementation. Sehingga menjadi empat elemen yaitu : 1) quality planning, quality implementation, quality control, dan quality improvment. Hal ini diperlukan agar pada waktu implementasi, quality implementation berperan penting.
Kualitas perencanaan (quality planning) adalah kualitas perencanaan dimana prosesnya dimulai dengan mengidentifikasikan tujuan dan kebutuhan untuk mencapai tujuan. Kualitas pelaksanan (quality implementasion) merupakan proses pelaksanaan kegiatan, berfungsi agar kegiatan berjalan tidak keluar dari apa yang telah direncanakan. Kualitas kontrol (quality control) merupakan suatu upaya dimana proses pendidikan benar-benar diperiksa dan dievaluasi serta dibandingkan dengan tujuan yang harus dicapai. Disamping itu, kontrol akan berfungsi untuk mengetahui kekurangan-kekurangan atau permasalahan-permasalahan yang membutuhkan pemecahan. Quality improvment adalah kualitas perbaikan yang dilakukan agar mekanisme yang sudah mapan dipertahankan sehingga mutu dapat dicapai. Selanjutnya, keempat elemen tersebut di atas digunakan sebagai alat untuk mengukur tentang mutu pendidikan nasional. Ketercapaian keempat elemen di atas dipengaruhi oleh tiga variabel, yaitu : 1) kebijakan, 2) infrstuktur, dan anggaran keuangan (budget).

C.    DAMPAK UN TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS ATAU MUTU PENDIDIKAN
Membicarakan peningkatan mutu sebagaimana yang telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa pendidikan dikatakan bermutu jika terdapat kesesuaian antara hasil yang diperoleh dengan tujuan pendidikan yang secara konseptual digambarkan dalam GBHN menjadi 4 aspek yaitu; 1) aspek agama; 2) aspek intelektual; 3) aspek politik; dan 4) aspek individual.
UN secara yuridis merupakan amanat PP 19 Tahun 2005 tentang system pendidikan nasional. UN sebagai upaya pemerintah untuk melakukan penilaian terhadap kompetensi peserta didik dan sekaligus pemetaan terhadap mutu program/satuan pendidikan yang ada di seluruh wilayah Indonesia.
Pembahasan ini menjadi menarik jika melihat polemic yang berkembang tentang pelaksanaaan UN di Negara ini tapi untuk menjadi pembanding penulis ingin mengutip tulisan yang dimuat di Harian Kaltim Post Edisi Rabu tanggal 21 Nopember 2007 dengan judul Mengakhiri Polemik Ujian Nasional SD.[13]
Meski menuai pro dan kontra kemendiknas tetap melaksanakan ujian nasional yang terintegrasi dengan ujian sekolah (UNTUS) pada Sekolah Dasar (SD) mulai tahun 2008. Menariknya standar kelulusan mata pelajaran yaitu Matematika, IPA dan Bahasa Indonesia tidak dipatok oleh pemerintah pusat, tetapi sepenuhnya diserahkan pada kebijakan masing-masing sekolah. pemerintah pusat hanya membuat soal yang porsinya 40%, sementara sisanya 60% diserahkan pada pemerintah daerah. Criteria kelulusan ditentukan melalui rapat dewan guru dengan mempertimbangkan nilai minimum dan nilai rata-rata dari ketiga mata pelajaran yang diujikan. Selanjutnya peserta akan diberi surat keterangan hasil UNTUS yang diterbitkan oleh sekolah.
Sebagai pembanding diungkapkan bahwa kebijakan UNTUS bukalan hal yang baru, karena di Australia dan Amerika sudah menerapkan model evaluasi tersebut. Secara berkala Negara tersebut melakukan evaluasi kelulusan setiap tiga tahun sekali. Targetnya untuk mengetahui kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Singapura justru lebih konsisten menjaga standar nilai ujian kelulusan mulai tingkat SD sampai SMA. Hasilnya Negara ini terkenal dengan prestasi siswa yang gemilang sebagaimana terekam dalam The Third International Mathematics and Science Studies (TIMSS).
Memang pada akhirnya setiap sekolah akan berbeda dalam penentuan standar kelulusan, meski demikian justru hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengakomodir perbedaan kinerja setiap sekolah. artinya penetapan standar kelulusan tidak memberatkan sekolah yang unggul mutunya, maupu sekolah yang kebetulan bermutu rendah.
Dengan tidak bermaksud untuk mengesampingkan pendapat tentang keberatan sebagian masyarakat tentang pelaksanaan UN yang beragam baik yang dilihat dari sisi nilai-nilai pedagogis karena hanya menguji kognitif saja, sisi psikologis karena menimbulkan kecemasan pada peserta didik dan orang tua dan adanya “pemaksaan” untuk menghapal pelajaran yang akan di UN kan maupun dari sisi social karena munculnya kecurangan dalam bentuk “mark up” nilai untuk mempertahankan budaya lulus 100% atas nama nama baik sekolah.
Perlu kiranya kita melihat beberapa hal positif dari pelaksanaan UN diantaranya; 1) berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Phelps (2001), Amrein dan Berliner (2003) menunjukkan bahwa keberadaan ujian kelulusan meningkatkan prestasi akademik siswa untuk mata pelajaran yang diujikan; 2) bisa menjadi barometer analisis sejauh mana daya serap siswa terhadap isi kurikulum yang dipelajarinya.
Pendapat Santrock tentang keuntungan penggunaan ujian Negara beresiko tinggi (High-Stakes Testing) memberikan sejumlah efek positif:
1.      Meningkatkan kinerja murid
2.      Lebih banyak waktu untuk mengajarkan pelajaran yang diujikan
3.      Ekspektasi tinggi untuk semua murid
4.      Identifikasi sekolah, guru dan administrator yang berkinerja payah
5.      Meningkatkan rasa percaya diri sekolah setelah nilai ujian naik[14] 
Hasil kajian Universitas Negeri Yogyakarta (2004) dan Lembaga Studi Pembangunan Indonesia (2005) yang menunjukkan bahwa ujian nasional, sebagai bentuk ujian yang distandarkan, mempunyai pengaruh positif, yaitu 1) siswa lebih giat belajar, 2) guru lebih giat mengajar, dan 3) orangtua lebih memperhatikan proses pembelajaran anak (Kompas, 4 Februari 2008).
Berdasarkan pada pendapat dan hasil penelitian tersebut maka dapat kita katakan bahwa pelaksanaan Ujian Nasional atau ujian yang distandarkan memiliki beberapa hal positif yang berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Diantara hal positif yang dihasilkan adalah munculnya semangat belajar atau kemauan belajar siswa agar dapat menguasai pelajaran yang diujikan, meningkatkan kompetensi guru untuk selalu memperbaharui pengetahuannya karena pengetahuan selalu berubah seiring dengan perkembangan zaman, meningkatkan peran orang tua dalam mengawasi proses belajar anak di rumah, dapat dilakukan analisis dan penilaian terhadap kinerja sekolah sebagai bentuk akuntabilitas terhadap orang tua dan masyarakat .
Bila kita melihat dari sisi peningkatan rata-rata nilai UN sebagaimana data yang dimuat dalam renstra kemendiknas 2010-2014 sebagai berikut:[15]
Tabel 1
Capaian Pendidikan Dasar dan Menengah
Program
Indikator Kinerja
2004
2005
2006
2007
2008
SD/MI/SDLB
Paket A
Rerata Nilai UN
-
-
-
-
7,03
SMP/MTs/SMPLB
Paket B
Rerata Nilai UN
5,26
6,28
7,05
7,02
6,87
SMA/SMK/MA/SMALB
Paket C
Rerata Nilai UN
5,31
6,52
7,33
7,14
7,17
                Sumber: Renstra Kemendiknas 2010-2014
Untuk tingkat kelulusan pada sekolah SMP/MTs untuk 2 tahun terakhir yaitu 2009 dan 2010 mengalami penurunan, sementara SMA mengalami peningakatan seperti dirangkum dalam table berikut:[16]
Tabel 2
Rekapitulasi kelulusan SMP dan SMA
Tahun 2009 dan 2010
Program
Indikator Kinerja
2009
2010
Jumlah peserta
% kelulusan
Jumlah peserta
% kelulusan
SMP dan sederajat
Kelulusan
3.437.117
94,82
3.605.163
90,27
SMA dan sederajat
Kelulusan
1.517.013
93.74
1.522.195
99,04
                          Sumber: http://www.depkominfo.go.id
Tahun 2010 masih ada sekolah di tujuh daerah yang ketidaklulusannya 100 %, yakni masing-masing satu sekolah di Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Maluku Utara, kemudian ada dua sekolah di KalimantanTengah dan Sulawesi Tengah. Sementara itu persentase ketidaklulusan tertinggi dalam UN setelah UN ulangan berdasarkan provinsi tahun ajaran 2009/2010 adalah NTT, yaitu sebanyak 2.425 siswa tidak lulus atau 5,55% . Menyusul berikutnya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan1.219 siswa (5,03 %), Kalteng 839 siswa (4,60 %) dan Bangka Belitung 232 siswa (2,74 %). Sedangkan persentase ketidaklulusan terendah dalam UN 2010 setelah UN ulangan adalah Jawa Barat, 17 siswa (0,01 %), Bali,17 siswa (0,02 %), dan Sulut, 10 siswa (0, 03 %).[17]
Sehubungan dengan peran pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 19 Tahun 2005 untuk melakukan pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan wakil mentri pendidikan nasional menyatakan bahwa 25% soal UASBN digunakan sebagai dasar untuk pemetaan pendidikan khususnya di tingkat sekolah dasar. Untuk sekolah yang memiliki standar yang rendah akan dibantu untuk meningkat baik dari peningkatan kompetensi guru atau peningkatan sarana prasarana sekolah.[18]
Berdasarkan pada data yang ada tentang capaian UN, maka kiranya dapat kita menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan dampak pelaksanaan UN dalam kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan yang menurut penulis dapa dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Dampak langsung
Dampak langsung yang dapat disimpulkan diantaranya:
a.       Mengembangkan motivasi siswa dalam belajar. Dengan adanya UN maka mau tidak mau siswa “dipaksa” untuk memaksimalkan kemampuan yang dimilkinya dalam menguasai pelajaran yang akan diujikan. Sehingga dengan demikian siswa dapat lebih siap menghadapi UN. Hal tersebut terlihat dari tingkat kelulusan maupun nilai rerata UN yang cendrung meningkat setiap tahunnya yang menurut penulis menunjukkan bahwa kompetensi siswa dapat kita kembangkan selama kita sebagai guru dan orang tua serta lingkungannya dapat menciptakan suasana yang mendukung.
b.      Mengembangkan kompetensi guru. UN secara sadar telah membawa pengaruh positif terhadap pengembangan kemampuan guru dalam menyiapkan siswanya untuk mengahadapi UN. Setiap guru juga “dipaksa” untuk meningkatkan profesionalismenya terhadap pelajaran yang diampunya terutama untuk guru-guru yang mata pelajaran yang diajarkannya akan di UN kan.
c.       Meningkatkan kerjasama diantara semua komponen sekolah dalam menyiapkan diri anak didik untuk menghadapi UN. Ada sebuah kebersamaan yang terbangun selama menyiapkan peserta didik diantar semua guru karena hasil UN akan menjadi sebuah pertanggungjawaban sekolah terhadap mutu pendidikan yang dihasilkan.
d.      Sekolah dapat melakukan evaluasi diri terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan yang pengaruhnya terhadap daya serap atau pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan oleh guru. Sekolah dapat melihat kualitas guru yang dimilki, sarana prasarana yang digunakan, kurikulum yang dikembangkan sebagai bahan evaluasi untuk pengembangan sekolah pada masa yang akan datang
e.       Bagi pemerintah dapat melihat ketercapaian target renstra pendidikan khususnya nilai rerata UN dan tingkat kelulusan. Pemerintah dapat memanfaatkan hasil UN untuk memetakan kualitas\pendidikan yang ada di wilayah Indonesia dan dapat menentukan bentuk intervensi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan

2.      Dampak tidak langsung
a.       Meningkatkan keimanan. Hal ini mungkin akan menyentak kita tentang kaitan UN dengan keimanan. Jawabannya adalah selama proses persiapan pelaksanaan UN di banyak tempat di negeri ini melakukan pengajian, istighosah, zikir, silaturahmi dan memohon maaf pada orang tua. Semua kegiatan tersebut dimaksudkan untuk menyiapkan siswa secara mental dan secara tidak langsung kita menanamkan nilai bahwa sepandai apapun kita, sebanyak apapun pengetahuan kita, sekeras apa pun usaha yang kita lakukan kita tidak boleh lupa bahwa yang menentukan akhir dari semua usaha kita adalah Tuhan Yang Maha Esa. Selain kesiapan mental siswa juga kesiapan mental sekolah untuk menghadapi semua masukan, kritik dan cercaan jika hasil UN tidak sesuai dengan yang diharapkan.
b.      Meningkatkan kratifitas dan inovasi sekolah dalam melakukan kerjasama dengan orang tua dan stakeholders dalam rangka menyiapkan siswa dalam menghadapi UN. Dengan pengalaman UN maka sekolah dapat selalu memperbaharui system pembelajaran yang dilakukan untuk menyiapkan materi yang akan di UN kan, sehingga persiapan menghadapinya tidak dilakukan secara mendadak tapi dilakukan secara terencana. Dengan pengalaman UN juga sekolah dapat melakukan prediksi terhadap soal-soal UN yang akan muncul sehingga dapat mematangkan persiapan siswa, guru dan sekolah serta orang tua dalam menghadapi UN.
c.       Meningkatkan partisipasi pemerintah dalam pengembangan pendidikan terutama pegembangan sarana dan prasarana dan pembiayaan.

D.    IMPLIKASI PELAKSANAAN UN DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
Implikasi UN dalam pendidikan kita merupakan keniscayaan bila kita ingin kompettitif dalam kehidupan global saat ini. Hal tersebut bila kita melakukan komparasi di beberapa Negara seperti Malaysia, Thailand, Australia, Amerika, Singapura mereka mentradisikan evaluasi yang sifatnya nasional.
Di Malaysia sekolah menengah brlangsung selama 5 tahun, pada akhir kelas 3 para siswa harus mengikuti ujian untuk menentukan kelulusan di sekolah menengah rendah yang disebut Penilaian Menengah Rendah (PMR) atau dahulu dikenal Sijil Pelajaran Rendah (Lower Certivicate Education) atau Lower Secondary Evaluation yang wajib diikuti semua siswa kelas 3. Pada akhir kelas 5 siswa diwajibkan untuk mengambil ujian akhir yang di sebut Sijil Pelajaran Malaysia-SPM (Malaysian Certivicate of Education Examination) sebelum mereka lulus dari sekolah menengah ini.[19]
Di Negara Thailand untuk dapat menjadi siswa di kelas menengah atas, maka calon siswa harus mengikuti ujian masuk (entrance exam). Untuk dapat naik tingkat siswa harus mengikuti dan lolos tes nasional yang disebut National Educational Test (NET). Anak-anak Thailand membutuhkan waktu 6 tahun di sekolah dasar, 3 tahun sekolah menengah awal dan 3 tahun sekolah menengah akhir. Mereka yang lulus dari 6 tahun sekolah menengah adalah mereka yang lulus dari O-NET (Ordinary National Educational Test) dan A-NET (Advance National Educational Tets).[20]
Kondisi UN di keduan Negara sebagai pembanding menunjukkan bahwa keberadaan UN adalah sebuah upaya pemerintah untuk menjaga kualitas pendidikan di negaranya dan juga sebagai ajang menguji kompetensi siswa terhadap penyerapan materi selama proses pembelajaran di sekolah..
Jika kita melihat renstra kemendiknas medio 2010-2014 dinyatakan bahwa visi yang diemban adalah terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional untuk membentuk insan Indonesia cerdas komprehensif. Untuk mewujudkan visi tersebut ditetapkan misi yang dikemas menjadi “misi 5K” yaitu; 1) meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan; 2) meningkatkan keterjangkauan layanan pendidikan; 3) meningkatkan kualitas/mutu dan relevansi layanan pendidikan; 4) meningkatkan kesetaraan dalam memperoleh layanan pendidikan; 5) meningkatkan kepastian/keterjaminan memperoleh layanan pendidikan.[21]
Menarik menganalisis penggunaan kata “meningkatkan” dalam misi kemendiknas tersebut. Secara sadar pemerintah menyatakan bahwa peningkatan kualitas pendidikan merupakan proses yang terus menerus yang diperoleh dari hasil evaluasi yang komprehensif dan integral dari semua proses implementasi pendidikan. Dengan kata lain strategi pendidikan kita berbasis kemajuan sehingga pelaksanaan UN dapat menjadi salah satu pintu masuk dalam melakukan evaluasi terhadap kualitas pendidikan kita.
Kita sama memaklumi bahwa pelaksanaan UN tidak dapat menjadi satu-satunya penilaian terhadap kemampuan kompetensi siswa dalam menentukan kelulusan dalam satuan pendidikan. Hal tersebut juga sesuai dengan standar penggunaan tes yang dikeluarkan oleh American Psycological Association, American Educational Research Association dan National Council on Measurement in Education sebagai akibat adanya friksi dalam pelaksanaan UN bahwa nilai ujian adalah landasan yang terlalu sempit dan tidak stabil untuk dijadikan sumber informasi bagi keputusan besar bagi penempatan atau kenaikan murid. Oleh karenanya nilai ujian harus selalu dipakai bersama dengan sumber informasi lain tentang prestasi murid (National Research Council, 2001)[22]
Berangkat dari pemahaman ini, maka penulis melihat bahwa penilaian pendidikan sebagai proses penilaian yang terus menerus dari pendidik untuk melihat perkembangan siswa baik kognitif, afektif maupun psikomotor. Sehingga perlu disusun sebuah sitem penilaian yang dapat menggambarkan kondisi siswa dari pertama masuk sampai pada akhir pelajaran.
Konsekuensi logis dari system penilaian ini adalah kompetensi professional guru harus dikembangkan sehingga guru dapat memahami metode penilaian, cara mengirterpretasikan dan menggunakan penilaian dalam pembelajaran. Banyak model penilaian yang dapat dikembangkan oleh guru, namun melihat kontroversi tentang pelaksanaan UN dan saat ini UN adalah salah satu dan bukan satu-satunya hasil penilaian yang menentukan kelulusan siswa, maka menurut penulis perlu kita mengembangkan model penilaian portofolio dan grading dan pelaporan kinerja.
1.      Penilaian Portofolio[23]
Portofolio terdiri dari sekumpulan hasil karya murid yang sistematis dan terorganisir yang menunjukkan keahlian dan prestasi murid. Sebuah portofolio adalah sekumpulan hasil kerja yang berguna untuk memberi tahu kita tentang kemajuan dan prestasi siswa(Minzes, Wandersee & Nova, 2001; Weasmer & Woods, 2001). Portofolio lebih dari sekedar kompilasi paper murid yang ditumpuk di map atau kumpulan catatan saja (Hatch, 2000). Agar bisa disebut portofolio, setiap karya atau hasil kerja harus dibuat dan ditata sedemikian rupa sehingga menunujukkan kemajuan dan mengarah pada satu tujuan. Portofolio dapat mencakup banyak tipe karya, seperti contoh tulisan, entri jurnal, rekaman video,karya seni, komentar guru, poster, wawancara, puisi, hasil ujian, solusi problem, catatan komunikasi dengan bahasa asing, penilaian diri, dan prestasi-prestasi lainnya. Portofolio dapat dikumpulkan pada kertas, foto,dan rekaman video, atau disket atau hard disk computer, atau CD-ROM. Pakar penilaian Joan Herman (1996) mengatakan bahwa penilaian portofolio semakin popular lantaran merupakan cara alami untuk mengintegrasikan instruksi dan penilaian.
Empat kelompok bukti yang dapat diletakkan dalam portofolio adalah artifak, reproduksi, kesaksian atau pengesahan karya, dan produksi (Barton & Collins, 1997). Artifak adalah dokumen atau produk, seperti papper dan pekerjaan rumah siswa, yang dihasilkan selama masa akademik normal di kelas. Reproduksi adalah dokumentasi kerja murid diluar kelas, seperti proyek special atau wawancara. Misalnya, deskripsi murid tentang wawancara dengan ilmuwan local di komunitas tentang kerja sang ilmuwan disebut reproduksi. Pengesahan atau atestasi mereprentasikan dokumentasi kemajuan murid yang dibuat oleh guru atau orang yang berwenang lainnya. Misalnya, guru menulis catatan evaluasi tentang representasi lisan siswadan menempatkannya di portofolio murid. Produksi adalah dokumen yang dibuat murid terutama untuk portofolio. Produksi terdiri dari tiga tipe material : pernyataan tujuan, refleksi dan caption. Murid membuat pernyataantujuan tentang kerja mereka dan mendeskripsikan setiap hasil kerja mereka dalam portofolio beserta arti pentingnya.
Menggunakan Portofolio Secara Efektif. Penggunaan portofolio secara efektif untuk penilaian membutuhkan : (1) penentuan tujuan portofolio; (2) melibatkan murid dalam membuat keputusan tentang portofolio; (3) me-review portofolio bersama murid; (4) menentukan criteria untuk evaluasi; dan (5) member penilaian.
Menentukan Tujuan. Portofolio dapat digunakan untuk tujuan yang berbeda-beda (Lyons, 1999). Dua tipe tujuan umum adalah mendokumentasikan perkembangan dan menunjukkan karya terbaik.  Portofolio perkembangan terdiri dari hasil hasil karya/kerja murid dalam kerangka waktu yg panjang (selama satu tahun ajaran atau bahkan lebih lama) untuk menunjukkan kemajuan murid dalam memenuhi target pembelajaran. Portofolio perkembangan kadang juga dinamakan portofolio developmental. Portofolio perkembangan sangat membantu untuk member bukti konkret dari beberapa banyak murid telah berubah atau berapa banyak yang telah dipelajari murid. Saat murid memeriksa portofolionya, mereka bisa melihat seberapa banyak kemajuan yang telah dicapai. Contoh dari portofolio perkembangan adalah Integrated Language Arts Portofolio yang dipakai di SD di Juneau, Alaska (Arter, 1995). Portofolio ini didesain untuk mengganti buku laporan sebagai cara menunjukkan perkembangan dan prestasi. Perkembangan kemampuan membaca, menulis, berbicara, dan mendengar, dirunut dalam kontinum developmental. Status murid pada kontinum itu ditandai di beberapa poin waktu yang telah ditentukan dalam jangka satu tahun. Contoh dari karya ini dipakai sebagai basis untuk penilaian level perkembangan murid.
Portofolio karya terbaik (best-work portofolio) menunjukkan hasil tugas atau karya murid yang paling baik. Terkadang ia di namakan showcase portofolio. Portofolio karya terbaik lebih selektif ketimbang portofolio developmental dan sering memasukkan produk terbaru dari si murid. Portofolio karya terbaik terutama berguna untuk pertemuan guru-orang tua, guru murid kelak dan pendaftaran ke universitas.
Passportofolio atau proficiency portfolio terkadang di pakai untuk menunjukkan kompetensi dan kesiapan untuk beralih ke tugas level selanjutnya (Arter, 1995; lankes, 1995). Misalnya, Science Portfolio adalah aspek opsional dari Golden State Evaluation di California (California State Department of Education, 1994) ia dibuat selama pelajaran sains dan memuat investigasi pemecahan problem, ekspresi kreatif (menyajikan ide-ide ilmiah yang unik dan orisinil), “perkembangan melalui tulisan” yang menunjukkan kemajuan dalam memahami suatu konsep dan refleksi diri. Central Park East Secondary School di New York City menggunakan portofolio untuk menentukan kelayakan kelulusan. Murid disyaratkan untuk menyelesaikan 14 portofolio yang menunjukkan kompetensi mereka di bidang seperti sains dan teknologi, etika dan isu social, pelayanan komunitas dan sejarah (Gold & Lanzoni, 1993).
Melibatkan Murid dalam Pemilihan Materi Portofolio. Ketika murid memilih untuk isi pootofolio mereka dengan menyuruh mereka menulis deskripsi singkat tentang mengapa mereka memilih suatu tugas (Airasian, 2001). Adalah penting untuk menjelaskan kepada murid sejak awal tahun ajaran tentang apa itu portofolio dan apa kegunaannya. Juga diperlukan kerjasama dengan orang tua agar memantau kemajuan murid dan memberi masukan untuk tugas selanjutnya yang akan dimasukkan dalam portofolio (McMillan, 2001;Weldin & Tumarkin, 1999).
Dalam pembuatan portofolio perlu adanya penentuan criteria kinerja yang jelas dan sistematis sehingga kita memiliki target pembelajaran yang jelas. Guru harus dapat mengidentifikasi pengetahuan atau kealian apa yang harus dimiliki oleh murid, sehingga guru dapat memfokuskan pengajaran yang akan diberikan baik isi maupun metode yang digunakan untuk mengukur kinerja guru itu sendiri.
Portofolio perlu diberi nilai jika tujuannya adalah untuk mendisgnosis, perbaikan, memberi data untuk instriksi yang efektif, memotivasi murid, atau untuk member nilai atas kinerja yang telah dilakukan, maka seorang guru harus membuat penilaian dan ringkasan tentang portofolio murid. Beberapa guru dalam penilaian portofolio member kesempatan pada murid untuk mengevaluasi dan mengkritik karya mereka sendiri.
Penerapan portofolio dalam penilaian pembelajaran bukan tanpa kekurangan. Kekuranga yang bisa diidentifikasi diantaranya; a) memerlukan waktu dalam pengorganisasian dan evaluasinya; b) penilaian untuk skala besar seperti evaluasi nasional membutuhkan biaya yang besar. Namun demikian kebanyakan pakar psikologi pendidikan dan organisasi pendidikan seperti National Education Association mendukung penggunaan portofolio (Coffin, 1996). Dukungan ini didasarkan pada portofolio yang sifatnya komprehensif member kesempatan dan mendorong murid untuk membuat keputusan dan merefleksikan dirinya. Selain itu portofolio memotivasi murid untuk berpikir kritis dan mendalam dan sangat baik untuk mengevaluasi kemajuan dan peningkatan yang dicapai oleh murid. (Berryman & Russel, 2001; Richard, 2001).
2.      Grading dan Pelaporan Kinerja[24]
Grading (pemberian nilai) berarti menejermahkan informasi penilaian deskriptif ke dalam angka dan symbol lain yang menunjukkan kualitas dari pembelajaran atau kinerja murid.
Tujuan Grading
Grading dilakukan untuk mengkomunikasikan makna informasi tentang pembelajaran dan prestasi murid. Dalam proses ini, grade atau nilai mengandung empat tujuan dasar (Airasian, 2001) :
Ø  Administratif. Nilai atau Grade membantu menentukan ranking kelas murid, kredit untuk kelulusan, dan apakah murid bisa naik ke kelas selanjutnya atau tidak.
Ø  Informasional. Nilai dapat dipakai untuk menginformasikan kepada murid, orang tua, dan pihak lain (seperti pengawas sekolah) tentang hasil kerja murid. Sebuah Grade atau nilai mempresentasikan penilaian guru terhadap seberapa baik murid dalam memenuhi tujuan intruksional dan target pembelajaran.
Ø  Motivasional. Seperti telah kita bahas di Bab 13, “ Motivasi, Pengajaran dan Pembelajaran “, strategi yang baik adalah membantu murid agar termotivasi secara intrinsik. Walaupun demikian, dalam dunia pendidikan dimana nilai diberikan, banyak murid belajar keras karena mereka termotivasi secara ekstrinsik yakni ingin mendapat nilai tinggi dan takut nilai rendah.
Ø  Pedoman. Nilai membantu murid, orang tua, dan konselor untuk memilih kursus dan level tugas yang tepat bagi murid. Nilai memberi informasi tentang murid mana yang butuh bantuan khusus dan level pendidikan apa yang akan tepat bagi murid.
Komponen Sistem Grading
Nilai merefleksikan penilaian guru. Tiga tipe utama penilaian guru menjadi dasar system grading guru (Airasian, 2001): (1) Apa standar perbandingan yang akan saya gunakan untuk grading? (2) Apa aspek kinerja murid yang akan saya gunakan untuk menerapkan nilai? Dan (3) Bagaimana saya memberi bobot pada jenis bukti yang berbeda dalam menentukan nilai?
Standar perbandingan. Kinerja murid bisa diberi nilai dengan membandingkannya dengan kinerja murid lain atau dengan standar kinerja yang telah ditentukan sebelumnya.
Membandingkan Kinerja Antar murid. Grading berdasar pada norma (norm-referenced) adalah system grading berdasarkan perbandingan kinerja murid dengan murid lainnya dalam kelas atau kelas lainnya. Dalam system semacam ini, murid mendapat nilai tinggi jika kinerjanya lebih baik ketimbang kinerja dari sebagian besar teman sekelasnya, dan murid mendapat nilai rendah jika kinerjanya lebih buruk. Grading jenis ini biasanya sebagai grading on the curve. Dalam grading yang mengacu pada norma, skala grading menentukan persentase murid yang mendapat nilai tertentu. Dalam kebanyakan kasus, skala di buat sehingga persentase murid terbesar akan mendapat nilai C.
Berikut ini pembagian nilai yang lazim dipakai : 15 pesen A, 25 persen B, 40 persen C, 15 persen D, dan 5 persen F. dalam menentukan nilai, instruktur atau pengajar sering melihat pada gap dalam range nilai. Jika enam murid mendapat nilai 92-100 dan 10 murid mendapat 81-88, dan tidak ada nilai 88 dan 92, maka guru akan member nilai A untuk 92 sampai 100 dan B untuk 81-88. Grading berdasar norma ini telah di kritik karena mengurangi motovasi murid, meningkatkan interaksi negatif di antara murid, dan menghambat pembelajaran.
Membandingkan Kinerja dengan Standar yang Telah Ditentukan. grading berdasar criteria berarti murid mendapat nilai tertentu untuk level kinerja tertentu, terlepas dari perbandingan dengan hasil murid lainnya. Terkadang grading  berdasar kriteria ini dinamakan absolute grading. Biasanya, grading jenis ini didasarkan pada proporsi poin yang diraih pada ujian atau pada level penguasaan yang dicapai dalam keahlian kinerja, seperti keahlian member presentasi oral dan memenuhi semua criteria yang telah ditetapkan. Grading berdasar kriteria ini lebih direkomendasikan ketimbang grading berdasar norma.
Secara teori, standar yang ditetapkan dianggap absolute, namun dalam praktiknya tidak selalu begitu (McMillan, 2001). Misalnya, sistem sekolahsepuluh kelas mengembangkan sistem grading seperti ini: A= 94 sampai 100 persen benar, B= 87 sampai 93, C= 77 sampai 86, D= 70 sampai 76, F = dibawah 70. Walaupun sistem ini absolute dalam pengertian bahwa setiap murid harus mendapat minimal94 untuk mandapat nilai A dan setiap murid yang tidak mendapat setidaknya 70 akan mendapat F, guru berbeda pendapat dalam menentukan seberapa besar penguasaan materi yang layak mendapat nilai 94,87, 77 atau 70. Seorang guru mungkin memberikan tes sulit yang lainnya tes mudah.
Banyak guru menggunakan nilai yang berbeda ketimbang yang disebut diatas. Beberapa guru mengatakan bahwa nilai rendah akan melemahkan motivasi murid dan karenanya tidak mau member nilai D atau F; yang lainnya tidak akan member nilai itu kecuali murid mendapat nilai dibawah 50.
Grading berbasis standar adalah perkembangan terbaru dari grading berbasis kriteria. Grading ini didasarkan pada standar yang harus dicapai murid. Dalam beberapa kasus, asosiasi nasional, seperti National Council of Teachers of Mathematics (NCTM), menyusun standar yang harus dicapai murid, jadi dalam salah satu bentuk grading berbasis standar, guru matematika mungkin mengaitkan nilai murid dengan seberapa baik mereka telah memenuhi standar nasional ini.
Aspek-aspek kinerja. Selama periode grading, murid-murid mungkin membuat banyak produk yang dapat dievaluasi dan dipakai sebagai basis grading. Diantaranya adalah hasiltes dan ulangan, dan berbagai macam penilaian alternatif seperti laporan lisan, proyek, wawancara, dan pekerjaan rumah. Portofolio makin banyak dipakai sebagai kumpulan materi lengkap yang akan dinilai atau sebagian dari tugas yang menjadi dasar pembelian nilai. Beberapa pendidik percaya bahwa nilai harus didasarkan kinerja akademik saja. Dalam pandangan beberapa pendidik, nilai harus didasarkan terutama pada kinerja akademik, namun guru bisa menggunakan motivasi dan usaha sebagai bahan pertimbangan.
Banyak guru menggunakan ujian sebagai basis utama, atau bahkan basis satu-satunya untuk memberikan nilai. Akan tetapi banyak pakar penilaian merekomendasikan pemberian nilai berdasarkan serangkaian ujian dan tipe penilaian lain-lainnya (McMillan, 2001). Jadi nilai semester untuk geografidapat didasarkan pada dua ujian, delapan ulangan, pekerjaan rumah, dua laporan oral, dan sebuah proyek. Mendasarkan grade pada serangkaian ujian dan tipe penilaian yang berbeda akan membantu menyeimbangkan kekuatan dan kelemahan murid, dan memberikan kompensasi untuk satu kinerja atau dua kinerja yang buruk lantaran sumber pengukuran eksternal dan internal yang mengandung kesalahan.
Beberapa pendidik mendukung karateristik afektif seperti motivasi dan usaha sebagai bahan lain untuk memberikan nilai, terutama dengan memberi tambahan nilai plus atau minus, jadi guru bisa mengubah nilai B menjadi B+ jika murid itu penuh motivasi, mau belajar keras, dan berpartisipasi aktif di kelas. Akan tetapi, beberapa pendidik percaya bahwa nilai harus hanya didasarkan pada prestasi atau kinerja akademik. Salah satu problem dalam memasukkan factor seperti usaha dan motivasi dalam memberikan penilaian adalah adanya kesulitan dalam menentukan reliabilitas dan validitas dari usaha atau motivasi. Pengukuran usaha atau peningkatan dapat dibuat lebih sistematis ean reliable dengan menyusun rubric penilaian dan contoh (McMillan, 2001).
Mempertimbangkan jenis-jenis bukti yang berbeda. Guru perlu menentukan bobot penilaian, misalnya dengan pertimbangan:
Ujian akhir                  25%
Tes sumatif                  20%
Tugas                           10%
Diskusi                        20%
Karya Tulis                  25%
Melaporkan Kemajuan dan Nilai Murid ke Orang Tua. Guru harus melakukan kerjasama dengan orang tua dengan memberikan informasi nilai dan perilaku murid di kelas atau di sekolah, sehingga dengan gambaran tersebut orang tua dapat memberikan pengawasan atas\prose belajar dan perkembangan perilaku anaknya. Karena sebagian besar waktu anak berada dalam lingkungan orang tuanya.
Laporan ke orang tua murid dapat diberikan dalam bentuk raport atau laporan kemajuan yang buat secara tertulis yang diatur secara berkala sebagaimana kesepakatan yang dibangun antara guru, sekolah dan orang tua. Misalnya  bulanan, triwulan, atau semester.
Dalam melakukan penilaian yang dikerjasamakan dengan orang tua dapat pula dengan memaksimalkan fungsi rapat-rapat komite sekolah. informasi yang diberikan sifatnya informasi umum tentang kondisi anak secara keseluruhan bukan membicarakan individu per individu.
Selain dua bentuk penilain yang dikembangkan dalam buku santrock, penulis juga ingin melihat pendapat Kihajar Dewantara[25] tentang pengukuran dalam pendidikan. Dalam pendidikan merupakan kesatua proses pengembangan pikiran (kognisi), badan (psikomotor) dan jiwa (afeksi/spiritualitas), oleh karena itu penilaian atasa proses pendidikan selalu menekankan ketercakupan ketiga unsur hakiki kepribadian manusia tersebut secara utuh.
Menurut Kihajar Dewantara seluruh tujuan dan proses pendidikan secara internal pedagogis diabdikan pada anak didik. Dalam konteks ini, guru adalah pendamping utama. Jika evaluasi harus dilakukan atas proses anak didik mengembangkan dirinya, anak didik itu sendiri dan gurunyalah yang paling tepat melakukannya sebab murid dan guru tersebut adalah subjek pelaku yang memahami setiap tahapan perkembangan yang telah dilaluinya.
Walau demikian, Kihajar Dewantara menegaskan, pada konteks luas dan eksternal, pendidikan nasional tidak dapat dilepaskan dari kepentingan nasional perkembangan nasionalisme, kemandirian, dan kemajuan bangsa. Pada prinsipnya, campur tangan Negara diperlukan dalam perwujudan tujuan pendidikan nasional. Campur tangan pemerintah berwujud pembiayaan dan penentuan kebijakan tertentu dalam pendidikan, misalnya pengenalan ideologi Negara dan arah dasar pengembangan pendidikan.
Menyangkut evaluasi pendidikan, Kihajar Dewantara, tidak pernah mengungkapkan model teknis evaluasi yang memuat suatu standar angka tertentu sebagai batas kategori keberhasilan maupun kegagalan proses perkembangan anak didik. Meski demikian ditegaskan bahwa dalam evaluasi, mungkin saja ada anak didik yang tidak lulus atau tidak tamat yaitu mereka yang amat kurang angka-angkanya. Namun dalam penetapannya harus dibuat seadil mungkin bagi anak, diantaranya:
1.      Murid lulus dan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi di jalur apapun
2.      Murid lulus dan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi hanya di satu jalur tertentu.
3.      Murid lulus, tetapi tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi
4.      Murid tidak lulus atau tidak tamat
Pada titik ini kita dapat melihat bahwa proses perkembangan murid tidak dapat dilihat hanya dari sisi lulus dan tidak lulus, melainkan sebuah upaya mengakomodir bakat anak didik yang beragam. Evaluasi dilakukan sebagai upaya melihat kesiapan anak didik untuk masuk pada jenjang pendidikan berikutnya.
Gagasan Kihajar Dewantara tentang evaluasi pembelajaran setidaknya memberikan kita pada rambu-rambu pelaksanaan UN yang seharusnya mencakup keseluruhan dari kerangka pendidikan kita. Memaknai UN sebagai “pisau guletin” untuk mengeksekusi kemampuan belajar murid jelaslah bukan keputusan yang tepat. Namun meniadakan evaluasi pembelajaran pada tingkat nasional (semisal UN) juga merupakan tindakan fatalistic dan ekstrem.[26]

E.     SOLUSI PRAGMATIS PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN MELALUI UN
Mengawali penawaran solusi pragmatis terhadap pelaksanaan UN, penulis ingin meminjam istilah yang sering diungkapkan dalam penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)  yaitu ”melaksanakan secara murni dan konsekuen” bukan bermasud latah karena saat ini orang sedang membicarakan tentang Pancasila, namun istilah tersebut dirasakan akan sangat sesuai dengan tawaran solusi dalam tulisan ini.
Melihat beragam regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah (legislatif dan eksekutif) maka isitilah tadi menjadi tepat yaitu pemerintah harus melaksanakan regulasi tersebut secara murni dan konsukuen karena menurut penulis jika kita berpatokan pada aturan regulasi yang ada dalam pelaksanaan UN, maka polemik pelaksanaan UN akan menjadi kecil. Dalam arti polemik itu pasti akan ada namun bisa direduksi sehingga friksi yang terjadi tidak berlarut-larut.
Namun demikian selain hal tersebut, penulis ingin memberikan solusi pragmatis seperti yang tertuang berikut:
1.      Proses penilaian terhadap perkembangan kompetensi siswa tidak dapat dilihat hanya pada saat ujian dilaksanakan saja tapi harus dilihat sebagai kesatuan proses penilaian yang melibatkan ranah kognitif, psikomotor dan afektif sehingga tawaran penulis dapat diberlakukan sistem penilaian portofolio maupun grading dan pelaporan kinerja. Dengan sistem penilaian tersebut maka guru dapat mempertanggungjawabkan nilai sekolah yang diperoleh siswa dengan disertai bukti dari hasil kerja siswa yang didokumentasikan secara rapi baik berupa karya tulis, makalah, hasil penelitian dan sebagainya yang merupakan karya siswa. Hal ini menjadi hal positif bila kita kaitkan dengan PP No. 19 Tahun 2005 khususnya pada Permendiknas No. 20 Tahun2007 pada lampiran Permendiknas tersebut pada huruf F poin 10.
2.      Dalam konteks untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka pemerintah harus dapat melaksanakan PP No. 19 Tahun 2005 pasal 68 khususnya di huruf a. Bahwa hasil UN merupakan jalan bagi pemerintah untuk melakukan pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan. Dengan pemetaan ini, maka pemerintah dapat menentukan jenis intervensi yang dapat dilakukan terhadap daerah dengan kondisi yan beragam dan kultur yang beraneka warna untuk membantu dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Misalnya dengan pemetaan pendidikan nasional dapat dijadikan input bagi program-program peningkatan mutu guru. Artinya, profesionalisme guru juga dapat dilihat dari hasil ujian atau evaluasi pendidikan nasional. Dengan demikian dapat diambil langkah-langkah untuk meningkatkan profesi guru dan juga memperbaiki fasilitas pendidikan yang tergambar di dalam output pendidikan dari ujian nasional.
3.      Kebijakan penyelenggaraan UN/UASBN perlu dievaluasi secara jujur, terbuka, dan jernih. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kebijakan UN pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memfokuskan upaya peningkatan mutu pendidikan dan pengurangan kesenjangan mutu pendidikan di tanah air melalui kebijakan-kebijakan yang lebih strategis dan tepat, misalnya dengan memfokuskan pada pencapaian Standar nasional pendidikan lainnya, yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan, selain standar penilaian pendidikan yang di dalamnya meliputi penilaian yang dilakukan guru dan sekolah. Tentu tidak rasional bila pemerintah menuntut output yang tinggi tanpa benar-benar membenahi input dan proses.
4.      Musyawarah pihak pro dan kontra terhadap pelaksanaan un. Pihak-pihak yang yang pro dan kotra terhadap kebijakan UN, perlu duduk bersama disertai keterbukaan, kejernihan, dan kejujuran dalam menguji asumsi-asumsi yang melandasi kebijakan tersebut untuk keluar dari polemik yang berkepanjangan dan mencari solusi-solusi yang lebih tepat dan strategis dalam upaya memberikan pendidikan bermutu bagi seluruh anak Indonesia.
5.      Dengan adanya program remedial dan UN menjadi salah satu penilaian bukan satu-satunya aspek untuk menentukan kelulusan siswa, maka perlu ditanamkan paradigma pada anak didik dan sekolah bahwa tidak lulus UN bukan berarti kiamat. Artinya dalam diri siswa dan sekolah tumbuh kearifan untuk legowo menerima kenyataan terhadap hasil pelaksanaan UN dan kesiapan untuk berbenah diri agar pada periode berikutnya akan ada perbaikan dan persiapan yang lebih baik dalam mengahadapi UN.
6.      Bagi sekolah harus dapat merubah paradigma selama ini yang harus 100% lulus UN, bahwa dalam setiap ujian akan ada yang mendapat nilai baik dan akan ada yang mendapat nilai buruk. Mengapa paradigma ini harus dirubah? Maksudnya dengan merubah paradigma maka sekolah akan melakukan pelaksanaan UN yang ”fair” tanpa ada upaya mark-up terhadap capaian siswanya. Dengan hasil yang jujur maka akan memberi gambaran yang jelas bagi sekolah dalam melakukan perbaikan dan pengembangan mutu pendidikan di sekolahnya dan bagi pemerintah dapat menjadi barometer yang jelas dalam melihat kualitas kompetensi siswa dalam upaya untuk melakukan perbaikan dan pengembangan kebijakan pendidikan.


BAB III
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A.    KESIMPULAN
Pelaksanaan UN di negara kita telah mengalami perkembangan sejarah yang cukup panjang dengan segala dinamika yang dimilikinya adalah sebuah hikmah bagi kita agar kita bisa lebih memperbaiki kualitas pendidikan kita sesuai dengan perkembangan kehidupan dunia dengan tidak meninggalkan akar filosofi bangsa bahwa tujuan negara ini didirikan salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan semangat pilar Pancasila.
Dengan beragamnya pendapat tentang proses pelaksanaan UN yang lebih santer terdengar adalah sisi negatifnya bukan menjadi ukuran bahwa UN menjadi hal yang tidak penting untuk dilaksanakan di negara ini. Bila kita melihat tetangga kita baik Malaysia, Singapura, Thailand, Australia semua negara tersebut dengan konsisten menjaga ujian negara sebagai jalan untuk melihat kualiatas pendidikan yang telah dicapai. Prinsip dan tujuan pengawasan yang dilakukan adalan improvement dan development atau perbaikan dan pengembangan sehingga setiap kekurangan yang ditemukan dalam setiap evaluasi akan menjadi bahan masukan untuk melakukan perbaikan terhadap proses pembelajaran yang dilakukan. Sehingga prinsip plan, do, check and act menjadi sebuah siklus bak spiral yang terus berputar.
Pemerintah kita saat ini telah mengembangkan sistem penilaian yang menggabungkan antara nilai sekolah dan nilai UN, hal ini merupakan terobosan positif sebagai bagian integral yang diperoleh dari hasil evaluasi penyelenggaraan UN, sehingga UN seharusnya tidak lagi menjadi monster yang mengerikan bagi siswa, sekolah dan orang tua.
Dalam menilai UN perlu ada penilaian yang berimbang, misalnya dalam pemberitaan tentang hasil UN yang sering muncul adalah yang ”jelek” tapi yang ”baik” kurang ditampilkan padahal dengan ketekunan siswa dan perhatian orang tua dalam membantu proses belajar anaknya di rumah ada juga siswa yang dapat mencapai angka sempurna (10) dalam segala keterbatasan yang dimillki (berita ini dapat diakses di kompas. Pemberitaan  tanggal 24/6/2008 halaman 23 rubrik Nusantara). Dengan pemberitaan yang berimbang maka kita dapat melihat polemik UN secara proporsional untuk pengembangan mutu pendidikan kita.
Filosofi cermin dan jendela yang dikembangkan oleh Jim Collins dalam buku Good to Great dapat menjadi bahan renungan bagi kita bahwa jika kita melihat keberhasilan yang kita capai maka lihatlah itu sebagai keberhasilan semua komponen pendidikan, namun jika terjadi kegagalan maka lihatlah diri kita jangan mencari kambing hitam akan kegagalan yang terjadi. Lebih baik kita menyalakan lilin kita masing-masing dalam kegelapan daripada kita sibuk mengumpat akan kegelapan yang terjadi.
Sudah saatnya kita semua termasuk pemerintah untuk melihat secara jernih setiap persoalan pendidikan sebagai sebuah sistem yang memiliki keterkaitan dengan komponen yang lain sehingga keputusan yang diambil dapat bersifat integral, akomodatif dan komprehensif.
Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan adalah sebuah keniscayaan bagi kita untuk meniadakan ujian yang berstandar nasional sebagai upaya untuk melihat capain kopetensi siswa sebagai pintu masuk untuk melihat standar pendidikan nasional baik standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian.
Pada akhirnya perlu kearifan semua pihak dalam menyikapi UN. Jangan sampai demi kepentingan pribadi atau kelompok, mengorbankan kepentingan pendidikan yang lebih besar. Kritik sebatas dialektis, membangun serta berkontribusi positif bagi pelaksanaan UN justru diharapkan. Sementara, ketidaksetujuan yang dimanifestasikan dengan tindakan anarkis, demo tidak beraturan dan sebagainya justru akan memperkeruh suasana dan tidak akan melahirkan solusi dari polemik yang berkembang.
Win-win solution menjadi jalan yang mungkin kita kembangkan dengan dilandasi sebuah pemikiran bahwa pendidikan adalah wilayah publik yang berdimensi politis sehingga berbagai keputusan menyangkut kebijakan dan praktek pendidikan selayaknya diambil dengan mengakomodasi sebanyak mungkin kepentingan dari sebanyak mungkin lapisan dan kelompok masyarakat.


B.     REKOMENDASI
Rekomendasi yang dapat diberikan dalam kaitannya dengan kaitan UN dalam peningkatan mutu pendidikan, sebagai berikut:
1.      Rekomendasi untuk pemerintah
a)      Pemerintah harus dapat menjaga konsistensi dalam implementasi kebijakan terutama yang berkaitan dengan implementasi UU No. 20 Tahun 2003 yang dijabarkan dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Konsistensi pemerintah merupakan hal yang penting yang dijadikan contoh oleh satuan pendidikan yang ada di tataran operasional. Pemerintah harus dapat melaksanakan kewajiban sebagaimana yang diamanatkan dalam UU dan PP tersebut secara murni dan konsekuen. Sehingga dapat terjadi keseimbangan antara input, proses, output maupun outcome pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
b)      Pemerintah harus dapat menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi untuk melakukan research  secara terencana dan berkesinambungan tentang penyelenggaraan pendidikan khususnya pelaksanaan UN sehingga kita dapat menemukan pola yang pas dalam melakukan evaluasi pendidikan dalam konteks nasional. Untuk dapat melaksanakan ini perlu ada keseriusan pemerintah dalam mengembangkan mutu pendidikan.
2.      Rekomendasi untuk sekolah
a)      Sekolah harus mengembangkan diri sebagai learning organization yang selalu beradaptasi dengan setiap perubahan yang terjadi.
b)      Sekolah harus menjadikan kendala dan tantangan yang dihadapi pada pelaksanaan UN tahun ini untuk perbaikan pada pelaksnaan UN pada tahun berikutnya.
3.      Rekomendasi untuk guru
Guru harus selalu mengembangkan kompetensinya karena pengetahuan selalu berkembang khususnya dalam model penilaian setiap guru dapat mengembangkan penilaian yang terintegrasi pada semua jenjang sehingga perkembangan siswa dapat diketahui secara baik.


4.      Rekomendasi untuk siswa
Siswa harus mengembangkan dan mempersiapkan diri dalam menghadapi setiap ujian yang akan dijalani termasuk UN, selama siswa mau belajar dengan baik maka dengan sendirinya akan berpengaruh pada kesiapan mental dalam menghadapi UN.
5.      Rekomendasi untuk orang tua
Dukungan orang tua terhadap penciptaan lingkungan belajar yang baik dirumah menjadi salah satu pendukung keberhasilan siswa dalam menghadapi UN
6.      Rekomendasi untuk masyarakat
Peran masyarakat dalam menciptkan lingkungan yang kondusif bagi suasana belajar siswa menjadi penting sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuannya dengan baik







DAFTAR PUSTAKA
Ki Hajar Dewantara, Bagian I;Pendidikan, Yogyakarta:Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 2004
Makmur A. Makka, Sirkus-sirkus Demokrasi, Jakarta:The Habibie Center, 2006
Rohman Arif, Pendidikan Komparatif;Menuju Kearah Metode Perbandingan Antar Bangsa, Yogyakarta:Laksbang Grafika, 2010
Suwignyo Agus, Negara Minus Nurani;Esai-esai Kritis Kebijakan Publik, Jakarta;PT.Kompas Media Nusantara, 2009
Suryadi Ace, H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung:Rosda Karya, 1994
Slamet, Margono, Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu, Bogor;IPB Press, 1999
Soedjiarto, Mutu Pendidikan Sebagai Kebutuhan;Makalah disampaikan pada workshop ”Profesionalisme Guru Berprestasi Tingkat Nasional;di Semarang, Denpasar 5 Juni 2004 dan Denpasar 22 Juni 2004. Diskusi Panel ”Potret Pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam” di Jakarta, 1 Juli 2004
Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa;Dari Konsepsi Sampai Dengan Implementasi, Yogyakarta:HIKAYAT Publishing, 2004
Syah Muhibbin, Psikologi Belajar, Jakarta:Rajawali Press, 2009
Santrock John W., Educational Psycology 2nd Edition;dialihbahasakan oleh Tri Bowo B.S., Jakarta:Kencana, 2010
Tilaar H.A.R., Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta:Rineka Cipta, 2000  
Tilaar H.A.R., Standar Pendidikan Nasional, Jakarta:PT.Rineka Cipta, 2006
Tilaar H.A.R., Kekuasaan dan Pendidikan;Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, Jakarta:Rineka Cipta, 2009
Wibowo Agus, Malpraktik Pendidikan, Yogyakarta:Genta Press, 2008
Wiyono Teguh, Rekonstruksi Pendidikan Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010
___________, UUD 1945
___________,UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
___________,PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional
___________,Permendiknas No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
___________,Permendinas No. 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
___________,Permendiknas No. 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
___________,Permendiknas No, 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian Pendidikan
___________,Permendiknas No. 45 Tahun 2010 Tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik Pada Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Atas Luar Biasa dan Sekolah Menengah Kejuruan Tahun Pelajaran 2010/2011
___________,Permendinas No. 46 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Ujian Sekolah/Madrasah dan Ujian Nasional pada Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Atas\Luar Biasa dan Sekolah Menengah Kejuruan 2010/2011
___________,Renstra Kemendiknas 2010-2014
http://www.hariansumutpos.com/arsip/
http://www.depkominfo.go.id


[1] Teguh Wiyono, Rekonstruksi Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010) p.101
[3] Ibid.
[4] http://www.hariansumutpos.com/arsip/
[5] A. Makmur Makka, Sirkus-sirkus demokrasi, (Jakarta:The Habibie Center, 2006) p.84-85
[7] Agus Suwignyo, Negara Minus Nurani; Esai-Esai Kritis Kebijakan Publik, (Jakarta:PT. Kompas Media Nusantra, 2009) p. 222-225
[8] Ace Suryadi & H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar (Bandung: Rosdakarya 1994), hlm. 163.
[9] Soedijarto, Mutu Pendidikan sebagai Kebutuhan. Makalah disampaikan pada worksop “Profesionalisme Guru Berprestasi Tingkat Nasional: di Semarang, Denpasar, 5 Juni 2004 dan Denpasar 22 Juni 2004. Diskusi Panel “Potret Pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam” di Jakarta, 1 Jui 2004.
[10] H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm.14.
[11] Slamet, Margono, Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu,(Bogor: IPB Bogor, 1999), hlm.23.
[12] H.A.R. Tilaar, Standar Pendidikan Nasioal (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), hlm. 169-170.
[13] Agus Wibowo, Malpraktik Pendidikan, (Yogyakarta:Genta Press, 2008) p. 72-77
[14] John W. Santrock, Educational Psycology 2nd Edition dialihbahasakan oleh Tri Bowo B.S., (Jakarta:Kencana, 2010) p. 609
[15] Renstra Kemendiknas 2010-2014, p. 8-10
[16] Data ini merupakan data gabungan dari Kominfo.Newsroomn tanggal 22/6/2009, 6/5/2010 dan 31/5/2010, http://www.depkominfo.go.id
[17] Ibid. 31/5/2010
[18] Ibid. 3/5/2010
[19] Arif Rohman, Pendidikan Komparatif;Menuju Kearah Metode Perbandingan Pendidikan Antar Bangsa, (Yogyakarta;Laksbang Grafika, 2010) p. 187
[20] Ibib. P.199
[21] Renstra Kemendiknas, p. 18-19
[22]  John W. Santrock, op.cit., p. 611
[23] John W. Santrock, op.cit., p. 664-667
[24] John W. Santrock, op.cit., 668-673
[25] K.H. Dewantara, Bagian I; Pendidikan, Yogyakarta:Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 2004. Cetakan ketiga
[26] Agus Suwignyo, Loc.cit., 249

1 komentar: